Sabtu, 05 November 2011

RESENSI BUKU : WAJAH TERAKHIR

WAJAH TERTINDAS PEREMPUAN


 



Judul     :     Wajah Terakhir

Penulis    :     Mona Sylviana

Penerbit     :     Gramedia Pustaka Utama

Terbit     :     I, Agustus 2011

Tebal     :     143 halaman

Harga     :     Rp. 35.000


 

Perlawanan terhadap dominasi laki-laki lewat karya sastra, tidak harus mencuatkan sosok heroik perempuan yang memberontaki nilai kultural yang dinilai mengekang. Namun hal itu dapat juga dilakukan dengan mendeskripsikan wajah ketertindasan yang ekstrem.

Itulah yang dilakukan oleh Mona Sylviana dalam antologi cerita pendek Wajah Terakhir. Dalam kumpulan cerpen ini, Mona tidak lagi memunculkan perempuan yang secara ideologis melawan peran-peran tradisional yang disuarakan dunia partriarkal.

Sebaliknya, Mona menyodorkan sebuah perlawanan dengan memperlihatkan marjinalisasi perempuan pada titik paling inti dan eksterm, yakni penderitaan perempuan lewat deskripsi-deskripsi yang menghenyakkan. Di sini perempuan tidak muncul sebagai sosok yang menggapai-gapai kesetaraan dengan laki-laki, namun membiarkannya tampil sebagai sosok yang menderita.

Strategi ini boleh jadi jitu. Sebab dengan memfokuskan cerita pada ketertindasan seperti itu, pembaca akan ikut merasakan luka-luka yang dialami perempuan akibat marjinalisasi tersebut. Pembaca seakan diajak untuk memberikan makna lain sebuah penderitaan.

Seperti pada cerpen Mata Andin. Lewat mata seorang anak perempuan, pembaca ditarik untuk melihat penderitaan tokoh ibu tanpa meghadirkan keluhan-keluhan kemisikinan yang melankolis. Kemiskinan seolah-olah bukan persoalan pokok oleh istri yang disia-siakan oleh suaminya, namun ia punya solusi untuk mempertahankan hidupnya, dengan menjual ginjalnya.

Dalam cerpen ini, perempuan tidak digambarkan sebagai sosok yang mempertimbangkan ini-itu, namun memiliki penyelesaian konkret. Keputusan menjual ginjal tersebut ia eksekusi tidak beda dengan ketika ia menjual perabotan rumah.

Lihat juga cerpen Ba(o)rok. Dalam cerpen ini perempuan yang menjadi korban perkosaan seakan menjadi sosok yang tidak berharga di mata calon suaminya. Seakan sang calon suami adalah seseorang yang paling suci hingga memiliki hak untuk meninggalkan perempuan yang akan dinikahinya.

Tokoh Barok dalam cerpen Ba(o)rok, si pemerkosa, mencoba menghindar dari tanggung jawab. Anak hasil pemerkosaan itu mendesak sang ibu untuk meminta pertanggungjawaban dari sang ayah biologis. Namun sang ibu menolak. Si anak berinisiatif mencari Barok. Namun di ujung cerita, si anaklah yang tidur bersama Barok.

Hal lain yang unik dari cerpen-cerpen Mona adalah kejutan-kejutan yang ia sampaikan di belakang cerita. Awal cerita yang lambat karena memang tidak langsung menuju inti persolan, diakhiri dengan kejutan yang mengguncangkan.

Sebut saja pada cerpen Wajah Terakhir. Pada cerpen ini at, tokoh Maria--korban pemerkosaan etnis minoritas--berkesempatan menjadi penerjemah seorang pasien kanker stadium empat. Maria tahu, pasien itu adalah ayah dari lelaki yang pernah memerkosanya.

Awalnya pembaca akan menduga kesediaan Maria untuk menolong pasien itu karena alasan-alasan kemanusian. Namun sebenarnya ia ingin mempercepat kematian sang pasien.

Kelebihan lain dari cerpen-cerpen Mona ialah penggambaran yang detil lewat pemilihan diksi yang begitu selektif. Ini membuat pembaca benar-benar terlibat dalam situasi-situasi yang digambarkannya.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar